Rabu, 14 November 2012

Meriam London Tak Se-gawat Dulu


Meriam melempem…mungkin seperti itu kondisi Arsenal kini. Klub mapan London Utara itu masih nampak ‘betah’ dengan inkonsistensi penampilan serta labilnya hasil yang selama ini terpaksa ditelan armada asuhan Arsène Wenger tersebut.

Masih ingatkah para Gooners, klub kesayangan mereka itu sudah tujuh tahun puasa gelar, baik dari prestis tertinggi di kancah Premier League dan Champions League, sampai yang kelasnya di bawah, semacam FA Cup atau Piala Liga.

Andai musim ini kembali gagal membawa pulang satu pun piala, The Gunners kian melestarikan kemarau gelar menjadi delapan tahun. Menengok naik-turunnya performa di Premier League dan panggung Eropa, masih bisakah Arsenal optimistis mengakhiri mega mendung yang hingga kini belum memudar?

Beragam alasan baik dari Sang Professor maupun para pemainnya, sudah dikemukakan ke hadapan publik. Bahkan sejumlah pemerhati Liga Inggris pun tak ketinggalan menaruh perhatian melalui kacamata mereka masing-masing.

Dari beberapa alasan para awak meriam London, jeda internasional yang memotong jadwal kompetisi, menjadi argumen utama. Sementara Wenger berkilah dengan penyampaian umum, yakni wabah cedera.

Menilik rekrutan Arsenal dari musim ke musim, bisa dibilang mayoritas pembelian Arsenal tak sukses atau labil. Sebut saja Andrei Arshavin yang sempat menjulang dan kemudian terpuruk. Lantas terdapat nama Marouane Chamakh…well, striker Maroko itu layak disebut pembelian buruk.

Musim panas lalu, Wenger menambah amunisi baru di lini gedor. Lukas Podolski dan Olivier Giroud. Keduanya punya nama mentereng di Jerman dan Prancis. Tapi entah mengapa, keduanya butuh waktu lebih lama lagi untuk menyesuaikan diri kendati punya potensi menyeramkan terhadap para bek lawan.

Beberapa waktu lalu, Wenger menjadi sorotan dan bahkan diragukan lagi kepantasannya menjadi nakhoda penghuni Emirates Stadium itu. Adalah legenda tim nasional Inggris, Alan Shearer yang menganggap Wenger sudah tak pantas mengomandoi Arsenal, lantaran dinilai terlalu kolot akan filosofinya.

Sampai matchday ke-11, Arsenal berkubang di urutan kedelapan Premier League dan nampaknya, target realistis hanya (lagi-lagi) finis di urutan empat besar. Ketika tim mapan lainnya masih memeras strategi dan spirit di jalur juara, Arsenal masih terpaku dengan target yang stagnan.

Kisah serupa terjadi di altar Eropa. Meski masih bertahan di posisi dua grup B Liga Champions, tapi langkah Arsenal nampak tak meyakinkan, setidaknya untuk menginjak layaknya di final musim 2005-2006.

0 komentar:

Posting Komentar

Search